News Update :

Pasukan Islam Tertangguh sepanjang masa

Sabtu, 27 Oktober 2012



1).Pasukan Elit Mamluk

Mamluk ( Arabic: مملوك (singular), مماليك mamālīk (plural), "dimiliki"; juga diterjemahkan sebagai mamluq, mamluke, mameluk, mameluk, mamaluke atau marmeluke) adalah seorang prajurit yang berasal dari kaum budak yang telah masuk Islam. "Fenomena mamluk," sebagai mana David Ayalon menyebutnya, adalah per-politikan penting yang luar biasa besar dan berumur panjang, yang berlangsung dari abad ke 9 sampai abad ke-19 Masehi. Seiring berjalannya waktu, mamluk menjadi kasta militer yang kuat di berbagai masyarakat Muslim. Terutama di Mesir, tetapi juga di Levant, Irak, dan India, kaum mamluk memegang kekuasaan politik dan militer. Dalam beberapa kasus, mereka mendapat kedudukan sebagai sultan, sementara di kasus lain mereka memegang kekuasaan daerah sebagai Amir atau beys. Kasus yang paling menonjol, dimana golongan mamluk merebut kesultanan sendiri di Mesir dan Suriah dalam periode yang dikenal sebagai Kesultanan Mamluk (1250-1517). Kesultanan Mamluk terkenal karena memukul mundur bangsa Mongol dan bertempur dengan para Crusaders.

Mereka adalah keturunan dari berbagai variasi tetapi yang paling sering adalah Kipchak Turks*, tergantung pada periode dan wilayah yang bersangkutan. Sewaktu seorang mamluk dibeli, status mereka berada di atas budak biasa, yang tidak diizinkan untuk membawa senjata atau melakukan tugas tertentu. Di tempat-tempat seperti di Mesir, dari dinasti Ayyubiyah hingga ke era Muhammad Ali dari Mesir, mamluk dianggap sebagai "penguasa yang sesungguhnya" dengan status sosial di atas mereka yang terlahir sebagai se-orang Muslim.


Ikhtisar
Kisah perbudakan militer di masyarakat Islam dimulai dengan para khalifah Abbasiyah abad 9 di Baghdad. Kaum mamluk yang paling awal dikenal sebagai ghilman (istilah lain dari budak) dan dibeli oleh para khalifah awal Abbasiyah . Pada pertengahan abad ke-9, budak-budak tersebut telah menjadi unsur dominan didalam militer. Konflik antara ghilman dan penduduk Baghdad mendorong khalifah al-Mu'tashim untuk memindahkan ibukota ke kota Samarra, namun hal ini tetap tidak berhasil menenangkan ketegangan yang terjadi; khalifah al-Mutawakkil dibunuh oleh beberapa slave-soldiers ini di tahun 861. Bani Abbasiyah membeli slave-soldiers terutama dari daerah dekat Caucasus (terutama Circassian dan Georgian), dan dari daerah utara Laut Hitam ( etnies Kipchak dan etnies Turki lainnya). Mereka yang ditangkap memiliki latar belakang non-Muslim.

Pengguna'an tentara mamluk memberikan penguasa'an pasukan dimana tentara tersebut ( mamluk ) tidak memiliki link ke setiap struktur kekuasaan yang didirikan. Prajurit local yang non-mamluk seringkali lebih setia kepada syekh suku mereka, keluarga mereka, atau Bangsawan daripada kepada sultan atau kepada khalifah. Jika seorang komandan berkomplot melawan penguasa, hal itu sering kali tidak memungkin-kan untuk be-konspirasi, tanpa menimbulkan keresahan di kalangan bangsawan. Pasukan Budak mamluk adalah orang asing dari status terendah yang tidak akan bisa berkomplot melawan penguasa dan yang dengan mudah bisa dihukum jika mereka menimbulkan masalah, sehingga menjadi aset militer yang besar.

Setelah keterpecahan the Abbasid Empire, para budak militer, yang dikenal sebagai mamluk atau ghilman, menjadi Basis of military power di seluruh dunia Islam. Kaum Fatimiyah Mesir membeli etnies Armenia, Turki dan budak Sudan, yang membentuk sebagian besar militeris mereka dan seringkali administration mereka . The powerful vizier Badr al-Jamali, misalnya, adalah seorang mamluk asal Armenia. Di Iran dan Irak, kaum Buyids menggunakan budak Turki di seluruh kekaisaran, seperti pembangkang al-Basasiri yang pada akhirnya mengantarkan penguasa Saljuq di Baghdad setelah percoba'an pemberontakan yang gagal. Ketika Bani Abbasiyah kemudian kembali meng-kontrol militer atas Irak, mereka juga bergantung pada budak militer mereka yang disebut ghilman.

Di bawah Saladin dan the Ayyubids of Egypt, kekuatan mamluk meningkat sampai mereka mengklaim kesultanan di 1250, memerintah sebagai Kesultanan Mamluk. Para budak Militer terus dipekerjakan di seluruh dunia Islam sampai abad ke-19, ketika rezim modern mulai mendominasi. Devşirme Kekaisaran Ottoman's , atau "mengumpulkan" para budak muda untuk Janissary corps, berlangsung hingga abad ke-17, sementara basis rezim mamluk tumbuh di provinsi Ottoman seperti Irak dan Mesir hingga abad ke-19.

Di bawah Mamluk Sultane of Cairo, para mamlukers dibeli saat mereka masih muda dan dibesarkan di dalam barak-barak di Citadel of Cairo. Karena status particular mereka (tidak ada ikatan sosial atau Afiliasi politik) dan pelatihan keras militer , mereka sering kali dipercaya. Pelatihan mereka terdiri dari pendidikan agama dan militer yang ketat untuk membantu mereka menjadi "good Muslim horsemen and fighters". Ketika training mereka telah selesai mereka pun dipulangkan, namun masih tetap terikat pada patron yang telah membeli mereka. Mamluk mengandalkan bantuan dari patron mereka untuk kemajuan karir dan juga reputasi patron dan power yang bergantung pada perekrutan-nya . Seorang mamluk juga "terikat oleh sebuah esprit de corps yang kuat kepada rekan-rekannya dalam household yang sama."

Mamlukers bangga akan asal mereka sebagai budak dan mereka yang dibeli hanya sesudah memenuhi syarat untuk mencapai posisi tertinggi. Hak istimewa yang berkaitan dengan menjadi seorang mamluk sangat lah didambakan, sehingga banyak dari orang bebas Mesir yang mengatur diri mereka untuk dijual dalam rangka untuk mendapatkan akses ke masyarakat yang istimewa. Mamluk berbicara dalam bahasa Arab dan membudayakan identitas mereka dengan mempertahankan nama Mesir. Namun meskipun ber-asal usul yang rendah dan eksklusifitas sikap, mamluk dihormati oleh masyarakat Arab mereka. Mereka mendapat penghargaan dan prestise sebagai "Penjaga sejati Islam dengan memukul mundur baik Tentara Salib dan Mongol". Banyak orang memandang mereka sebagai berkat dari Tuhan untuk umat Islam.

Setelah para mamluk meng-converted ke Islam, banyak dari mereka yang di-training sebagai cavalry soldiers. Mamluk harus mengikuti dictates of furusiyya*, suatu code yang mencakup nilai-nilai seperti keberanian, dan kemurahan hati, dan juga taktik kavaleri, menunggang kuda, memanah dan perawatan luka, dll

Mamluk tinggal di dalam garnisun mereka dan terutama untuk menghabiskan waktu mereka satu sama lain. Hiburan mereka termasuk acara olahraga seperti lomba memanah dan presentations of mounted combat skills setidaknya seminggu sekali . Pelatihan yang intensif dan ketat setiap kali merekrut anggota baru membantu menjamin kelangsungan hidup praktek mamluk.

Sementara mereka tidak lagi benar-benar sebagi budak setelah pelatihan, mereka masih tetap wajib untuk melayani Sultan. Sultan membuat mereka sebagai kekuatan asing, di bawah perintahnya langsung, untuk digunakan dalam hal menangani friksi-friksi suku setempat. Sultan juga bisa mengirim mereka sampai ke daerah-daerah muslim di Iberia.

Sultan memiliki para mamluk dengan jumlah terbesar, tapi amir yang lebih rendah dapat memiliki pasukan pribadi sendiri juga. Banyak para mamluk yang meningkat ke posisi tinggi di seluruh kekaisaran, termasuk dalam komando ketentara'an. Pada awalnya status mereka tetaplah tidak-diwariskan dan seoarng anak lelaki secara ketat dicegah untuk mengikuti ayah mereka (mewarisi apa yang dimiliki ayahnya, terutama kedudukan di dalam pemerintahan) . Akan tetapi, seiring dengan berjalan nya waktu, di tempat-tempat seperti Mesir, pasukan mamluk menjadi terkait dengan struktur kekuasaan yang ada dan mendapatkan pengaruh dalam jumlah yang signifikan terhadap kekuasa'an. Suatu evolusi yang sama terjadi dalam Ottoman Empire dengan para Janissary-nya



2).Pasukan Elit Janissary


Janisari (berasal dari bahasa Turki Utsmaniyah: ينيچرى (Yeniçeri) yang berarti "pasukan baru") adalah pasukan infanteri yang dibentuk oleh Sultan Murad I dari Kekalifahan Bani Seljuk pada abad ke-14. Pasukan ini berasal dari bangsa-bangsa Eropa Timur yang wilayahnya berhasil dikuasai oleh Turki. Utsmani Tentara ini dibentuk tak lama setelah Kekaisaran Byzantium kalah oleh Turki Utsmani. Alasan utama pembentukan laskar Janisari adalah karena tentara Turki Utsmani yang ada tidak memadai, terutama karena terdiri dari suku-suku yang kesetiaanya diragukan. Janisari awalnya adalah para tahanan perang (terutama yang asalnya dari Eropa Timur - Balkan) yang diampuni tetapi dengan syarat harus membela Kekaisaran Turki Utsmani.

Sejalan dengan waktu, untuk memastikan kesetiaan kesatuan ini, selanjutnya Sultan punya ide untuk merekrut pasukan Janisari ini dari budak yang masih bocah, sehingga mereka bisa diajari (didoktrin) untuk membela dan mengawal Sultan. Pada masa itu, pasukan Janisari ini adalah pasukan terkuat di dunia. Konon pasukan ini adalah pasukan yg pertama sekali memakai senapan.(yang kemudian ditiru oleh orang Eropa). Saat itu Turki memiliki persediaan mesiu yang cukup banyak (dimana pada saat itu di daerah lain masih langka). Pasukan ini adalah pasukan kedua setelah Mongol yang berhasil menjajah Eropa.

Janisari adalah brigade terpisah dari pasukan reguler Turki yang bertugas mengawal Sultan Dinasti Utsmani (Ottoman Empire). Sedangkan Bani Seljuk adalah Dinasti sebelum Utsmani. Utsman diambil dari pemimpin kabilah Osmani yg mempunyai kekuatan yang besar sewaktu Bani Seljuk masih berkuasa. Waktu Seljuk pecah, kabilah yang dipimpin Osmani menyatukannya kembali dibawah bendera baru. Kekuasaan Turki Utsmani mencapai seluruh wilayah di Balkan dan Eropa Tenggara. Kota Wina dua kali diserang oleh kakuatan Turki Utsmani, tetapi karena seluruh kerajaan di Eropa bersatu untuk membendung dengan kekuatan penuh dan logistik yang memadai, ambisi Turki Utsmani untuk menguasai seluruh Eropa tidak berhasil.

Pakaian khas Janisari adalah sejenis long musket. Ciri khasnya adalah topinya yang memakai tutup kain dari depan ke belakang leher, menyerupai sorban.

Kisah terkenal mengenai kehebatan pasukan ini adalah ketika Byzantine kalah total saat Constantinopel ditaklukan oleh Turki Utsmani yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Al-Fatih, beliau anak dari Sultan Murad II. Saat itu Janisari adalah pasukan yang berperan penting dalam pertempuran tersebut. Yang menarik, pada zaman Sultan Mahmud, Pasukan Janisari termasuk yang ikut bertempur melawan Dracula si Penyula dari Wallachia dekat Transevalnia yang haus darah. Dracula (Vlad Teppes) sempat dikalahkan adiknya sendiri yaitu Radu yang saat itu menjadi pemimpin Janisari untuk menaklukan Dracula. (Dracula artinya anak Dracul atau anak naga karena bapaknya adalah Vlad Dracul yang menjadi anggota Ordo Naga).

Jannisary sendiri dibagi manjadi dua kesatuan, yaitu: infantri dan kavaleri.Selain Janisari, Turki Utsmaniyah juga masih mempunyai kesatuan elite lainnya, yaitu: Tentara Ghulam, Cavalary Sipahi, dan tentunya pasukan Onta.

Selama beberapa abad Janisari bertahan sebagai pasukan elit pengawal Sultan. Karena statusnya itu Janisari, baik secara jumlah dan status berkembang semakin besar. Sekitar abad 19 Janisari dibubarkan oleh Sultan Mahmud II pada tahun 1826 karena terjadinya insiden Auspicious, dimana laskar Janisari mencoba melakukan kudeta terhadap kekaisaran Turki Ottoman.






3).Sipahi ( Cavalry Islam )



Tentara Islam dikenal memiliki pasukan berkuda yang sangat hebat. Di era kejayaan Islam, kekuatan para prajurit Islam benar-benar tertumpu pada keahlian berkuda dan memanah. Sejarah peradaban Islam mencatat, kehebatan pasukan berkuda Islam telah menjadi kunci kemenangan dalam berbagai pertempuran penting.

Pasukan berkuda biasa disebut kavaleri, yang berasal dari bahasa Latin caballus dan bahasa
Prancis chevalier yang berarti “pasukan berkuda”. Ahmad Y al-Hassan dan Donald R Hill dalam karyanya bertajuk Islamic Technology: An Illustrated History, mengungkapkan, sebelum Islam berkembang, peradaban lain, seperti Bizantium telah memiliki pasukan kavaleri yang tangguh.
Menurut al-Hassan, pada abad pertama Hijriah (ke-7 M) kavaleri telah menjadi kekuatan utama militer Bizantium. Pasukan kavaleri yang tangguh juga telah dimiliki bangsa Persia, jauh sebelum Islam berkembang. Ksatria berkuda Iran, Asawira , tutur al-Hassan, merupakan pasukan yang mampu menurunkan kekuatan kavaleri yang lebih besar ke medan perang daripada bangsa Arab.
“Karena pada masa awal perkembangan Islam, jumlah pasukan berkuda dalam ketentaraan masih sedikit, khususnya sebelum penaklukan Makkah,” papar al-Hassan dan Hill. Tioe medan yang datar dan terbuka, ungkap al-Hassan, sangat cocok untuk kavaleri. Namun, bangsa-bangsa Arab, menghindari medan perang seperti itu.
Menurut al-Hassan, militer Islam mulai membentuk pasukan berkuda atau kavaleri pada zaman Khilafah Rasyidah. Adalah Khalifah Umar bin Khattab (berkuasa pada tahun 31-41 H) yang berupaya untuk mengumpulkan kuda bagi tujuan milter dari berbagai daerah. “Hasilnya, terdapat sekitar 4.000 ekor kuda di Kufah. Setelah itu, sedikit demi sedikit strategi kemiliteran Islam berubah, ” ungkap al-Hassan.
Pada awalnya, pasukan kavaleri Islam tak terlalu dominan. Berbekal tombak dan pedang, pasukan tentara berkuda Islam memaikan peranan penting untuk menyerang panggul dan pantat musuh. Perlahan namun pasti, kekuatan kavaleri yang dimiliki militer Muslim semakin bertambah besar dan kuat. Pasukan kavaleri tercatat menjadi kunci kemenangan tentara Islam dalam perang Yarmuk.
Pertempuran Yarmuk merupakan perang antara tentara Muslim dengan Kekaisaran Romawi Timur pada 636 M. Sejumlah sejarawan menyatakan, Perang Yarmuk sebagai salah satu pertempuran penting dalam sejarah dunia, menandakan gelombang besar pertama penaklukan Muslim di luar Arab, dan cepat masuknya Islam ke Palestina, Suriah, dan Mesopotamia yang rakyatnya menganut agama Kristen.
Pertempuran ini merupakan salah satu kemenangan Khalid bin Walid yang paling gemilang, dan memperkuat reputasinya sebagai salah satu komandan militer dan kavaleri paling brilian di zaman Pertengahan. Pertempuran ini terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, khilafah Rasyidah kedua. Pertempuran ini terjadi empat tahun setelah Nabi Muhammad meninggal pada 632.
Ketika ‘Amr bin Al-’Ash menaklukan Mesir pada tahun 37-39 H/ 658-660 M, komposisi kekuatannya militer Islam telah berubah dari infanteri menjadi pasukan berkuda. Kehebatan pasukan kavaleri Muslim, sekali lagi terbukti dalam Pertempuran Sungai Talas pada 751 M antara Kekhalifahan Rasyidah dengan Dinasti Tang dari Cina. Bermodalkan pasukan kavalery yang tangguh tentara Muslim berhasil meraih kemenangan.
Kemenangan itu membuat Islam menguasai wilayah Asia Tengah dan mulai menyebar luas di negeri Tirai Bambu itu. Pasukan kavaleri Islam juga kerap mendapat bantuan dri pasukan lain, misalnya ketika pasukan berkuda Iran, Asawira bergabung dengan pasukan Islam dalam penaklukan Khuzistan di bawah pimpinan Abu Musa pada tahun 17-21 H/638-642 M.
“Ini hanya salah satu contoh dramatik penyatuan pasukan non-Arab ke dalam angkatan bersenjata Muslim,” kata Al-Hassan dan Hill. Kala itu, pasukan Islam juga merekrut orang-orang Khurasan, Barbar dan Turki. Mereka tetap membawa gaya bertempur dan berkuda khas masing-masing. Sehingga tak bisa dipaparkan satu gaya khas kavaleri dalam satu pertempuran.
Kekuatan pasukan kavaleri Islam kian bertambah kuat pada era kekuasaan Dinasti Mamluk pada abad ke-6 H dan ke-7 H (ke-12 M dan ke-13 M), periode kritis dalam sejarah Islam. Mamluk atau Mameluk berarti tentara budak yang telah memeluk Islam. Mereka berdinas untuk kekhalifahan Islam dan Kesultanan Ayyubiyah pada abad pertengahan.
Mereka akhirnya menjadi tentara yang paling berkuasa dan juga pernah mendirikan Kesultanan Mamluk di Mesir. Pasukan Mamluk pertama dikerahkan pada zaman Abbasiyyah pada abad ke-9 M. Kala itu, Bani Abbasiyyah merekrut tentara-tentara ini dari kawasan Kaukasus dan Laut Hitam dan mereka ini pada mulanya bukanlah orang Islam.
Menurut al-Hassan, setelah memeluk Islam, seorang Mamluk akan dilatih berkuda. Mereka harus mematuhi Furisiyyah, sebuah aturan perilaku yang memasukkan nilai-nilai seperti keberanian dan kemurahan hati dan juga doktrin mengenai taktik perang berkuda, kemahiran menunggang kuda, kemahiran memanah dan juga kemahiran merawat luka dan cedera.
Saat itu, pasukan berkuda tersebut juga dilatih menggunakan sejumlah senjata. Senjata pasukan berkuda (faris) Mamluk terdiri dari pedang, tombak, panah, perisai dan tongkat kebesaran. Tongkat kebesaran terbuat dari besi atau baja dengan ujungnya berbentuk kubus, diletakkan di bawah sanggurdi, sementara tombak di pegang dengan satu atau kedua tangan, bukan “diluncurkan” atau direndahkan untuk menyerang seperti halnya di barat, tetapi digunakan untuk berkelahi di atas kuda,” jelas Al-Hassan dan Hill.
Faris Mamluk ini melakukan latihan di Tiqab (tunggal:tabaqqa), yakni nama yang diberikan untuk barak-barak di benteng Kairo yang dijadikan akademi militer. Pelatihan ini dimulai ketika pasukan Mamluk mencapai Puncak kejayaannya. Latihan dilakukan secara komprehensif dan dengan disiplin yang ketat. Bahkan, kala itu mereka tak takut mengeluarkan biaya pendidikan kemahiran berkuda hingga seorang prajurit mampu untuk menunggang kuda tanpa pelana maupun dengan pelana, lari meligas, mengderap dan mencongklang, mendatar ataupun melompat. “Dia (faris-red) juga harus mengetahui cara merawat kuda ketika sakit,” kata Al-Hssan dan Hill.
Selain itu, pasukan berkuda yang mengikuti latihan berkuda, harus bisa menggunakan kuda sambil memanah dan menggunakan tombak. Saat itu, seorang faris harus mampu menyerang target dari berbagai sudut dan pada kecepatan berbeda-beda menggunakan kedua senjata itu. Pasukan Mamluk juga sangat terlatih untuk menggunakan pedang dengan cara yang sama. Metode-metode ini teruji keberhasilannya dengan kemenangan Mamluk atas pasukan Perang Salib dan mongol.
Kehebatan pasukan berkuda Islam juga terlihat saat pasukan Turki Usmani di bawah pimpinan Sultan Muhammad al-Fath merebut Konstatinopel pada abad 14 M. Mereka sebelumnya harus berenang mengarungi Selat Bospurus (karena laju kapal dihadang oleh armada Romawi Byzantium di sepanjang pantai), setelah itu naik kuda untuk mengobrak-abrik pasukan musuh dengan serangan panah bertubi-tubi.Begitulah, kisah kejayaan pasukan berkuda tentara Muslim.


Berkuda dalam Islam
Dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari RA, Nabi Muhammad SAW, menganjurkan para sahabatnya termasuk seluruh umat Islam yang mengikuti sunnahnya, agar mampu menguasai bidang-bidang olah raga, terutama berkuda, berenang, dan memanah. Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam menguasai olahraga berkuda, memanah, dan berenang, karena terinspirasi peperangan Romawi-Persia, yang notabene hanya mengandalkan kekuatan otot perorangan belaka.
Saat itu, Nabi Muhammad SAW berpikir lebih maju, ia berfikir bahwa peperangan Romawi-Persia kurang diimbangi kecerdasan otak yang membentuk kerja sama tim. Ketiga olahraga yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW ini mengandung aspek kesehatan, keterampilan, kecermatan, sportivitas, dan kompetisi. Olahraga ini memerlukan kekuatan fisik dan intelektualitas yang tinggi.
Dalam Alquran surat Al-Aadiyaat ayat 1-4 juga tercantum kisah tentang ‘heroisme’ kuda-kuda yang berlari kencang dalam kecamuk peperangan. “Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah-engah. Dan kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya). Dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi. Maka, ia menerbangkan debu dan menyerbu ke tengah kumpulan musuh.”
Pada zaman Nabi Muhammad SAW terjadi sejumlah perang besar melawan kaum musyrikin dan kafirin. Saat itu, terjadi adu kepandaian berkelahi orang per orang, baik menggunakan tangan kosong, maupun menggunakan senjata seperti pedang atau tombak. Misalnya Perang Badar dalam bahasa Arab disebut ghazawat badr yang merupakan pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan musuh-musuhnya. Perang ini terjadi pada 17 Maret 624 Masehi atau 17 Ramadhan 2 Hijriyah.
Pasukan kecil kaum Muslim yang hanya berkekuatan sebanyak 313 orang ini, bertempur menghadapi pasukan Quraisy dari Mekkah yang berjumlah 1.000 orang. Mereka berhasil mengalahkan para musyrikin Quraisy. Kemenangan kaum Muslimin dalam perang Badar ini tercantum dalam Alquran, surat Al Anfal ayat 1-10.
Setelah perang Badar, kekuatan militer umat Islam mulai terorganisasi. Ada pasukan berkuda (kavaleri) dan pasukan pemanah (artileri), serta pasukan darat (infanteri). Kala itu, kondisi fisik mereka harus benar-benar terjaga, walaupun dalam keadaan aman mereka menjalankan profesi lain, seperti berdagang, mengajar, bertukang, dan sebagainya. Tapi ketika ada mobilisasi untuk menghadapi serangan atau harus menyerang, fisik dan mental mereka sangat siap.
Pasukan Islam mengalami prestasi gemilang dalam berperang sambil menjalankan ibadah puasa, selain perang Badar, adalah “Futuh Mekah”. Penaklukan Kota Mekah pada tahun 8 Hijriyah sekitar tahun 630 M. Umat Islam yang sedang berpuasa saat itu, dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad saw, berhasil merebut Kota Mekah dari kekuasaan kafir Quraisy. Berkat kemenangan itulah, umat Islam yang dulu harus hijrah ke Madinah selama delapan tahun, dapat kembali ke tanah kelahirannya dengan penuh kebanggaan dan kegembiraan.
You might also like:
Share this Article on :

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright HOT NEWS 2010 -2013 | Design by Giyono Umeda | Published by Giyono Umeda | Powered by Blogger.com.